الله أكبر, الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد
الله أكبر جل ثناؤه، الله أكبر عظم شأنه، الله أكبر علا ذكره، الله أكبر الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، وكفى بالله شهيدا.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
اللهم صل وسلم وبارك وأنعم على سيدنا وقدوتنا وشفيعنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى آله وأصحابه
وبعد:
Allah Maha Besar dari semua yang besar. Allah Maha Agung dari semua yang agung. Karenanya di seluruh penjuru bumi Allah, semua sedang mengagungkan Nya. Seiring dengan alam yang terus bertasbih tanpa kenal bosan dan lelah.
Allahu Akbar, Walillahil Hamd…
Segala puji bagi Allah yang dengan pertolongan Nya, sempurnalah semua keshalehan kita sepanjang Bulan Ramadhan. Shiyam, qiyam, tilawah, i’tikaf, shodaqoh dan semua kebaikan lainnya. Ya Allah terimalah amal yang tak sempurna ini, sesungguhnya Engkau Maha baik.
Allahu Akbar, Walillahil Hamd…
Shalawat dan salam teruntuk manusia terbaik yang mencahayai bumi ini dengan generasi yang tak pernah ada sebelumnya.
اللهم صل وسلم وبارك على حبيبنا وشفيعنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Hilal Syawal kembali hadir. Sudah semestinya ia tidak sama dengan hilal-hilal Syawal sebelumnya.
Mestinya lebih bercahaya. Harusnya lebih benderang. Untuk kita, keluarga dan umat ini.
Tapi jika belum kunjung terlihat perbaikan itu. Jika belum juga nampak tunas kebangkitan itu. Atau justru harapan umat semakin menipis.
Maka kita mesti melihat Idul Fitri pertama yang dianugerahkan Allah untuk muslimin. Karena di sana ada bahagia yang lebih dari sekadar kesenangan kering zaman ini. Di sana takbir dan tahmid yang lebih dalam pemaknaannya.
Saat lisan terus dibasahi dengan takbir, hati sangat merasakan keagungan Allah dan kebesaran Nya hadir.
Bagaimana tidak, jika Ramadhan pertama harus dihiasi dengan jihad besar pertama muslimin. Perang di dekat mata air Badar.
Sesungguhnya sebagian muslimin tidak suka jika harus berperang. Mereka lebih memilih bertemu dengan kafilah daripada pasukan.
Tapi keagungan Allah memaksa mereka untuk mau berhadapan dengan pasukan perang. Karena Allah ingin memutus keangkuhan orang-orang kafir hingga ke pangkalnya.
Saat lisan terus dibasahi dengan tahmid, hati tak henti memuji dalam bahagia dengan ni’mat keberhasilan dan kemenangan besar.
Bagaimana tidak, jika di tengah ketidaksiapan itu, Allah memberi kemenangan gemilang. Kepercayaan diri berlebihan orang-orang musyrik Quraisy pupus. Ni’mat yang lebih ni’mat, karena kenikmatan yang tak terduga.
Takbir yang meninggalkan kesan dalam di hati para sahabat.
Tak sekadar takbir yang merdu, tapi jauh dari syahdu, tidak dalam kekhusyukan dan tidak menambah iman.
Allahu Akbar, Walillahil Hamd…
Syekh Shofiyyurohman Al Mubarokfuri dalam Ar Rahiq Al Makhtum menulis:
“Salah satu kejadian terbaik dan kebetulan terindah adalah Id pertama yang dirayakan oleh muslimin dalam kehidupan mereka; yaitu Id yang terjadi pada Syawal tahun 2 H. Setelah kemenangan besar yang mereka dapatkan di Perang Badar.
Alangkah indahnya Id yang membahagiakan ini yang dianugerahkan oleh Allah setelah disematkan di atas kepala mereka mahkota kemenangan dan kemuliaan. Alangkah agungnya pemandangan sholat yang mereka lakukan saat itu.
Setelah mereka keluar dari rumah mereka, mereka mengangkat suara dengan takbir, tauhid dan tahmid.
Hati mereka diluberi dengan harapan kepada Allah, rindu rahmat dan keridhoan Nya setelah anugerah keni’matan dan pertolongan.
Dia mengingatkan dalam firman Nya:
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآواكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Qs. Al Anfal: 26)”
Surat Al Anfal yang turun pasca kemenangan besar tak terduga di Perang Badar, sungguh sebuah kenangan sangat manis yang baru saja mereka rasakan. Idul Fitri pertama mereka dalam kenangan manis itu.
Takbir dan tahmid berkumandang di langit Madinah dengan rasa yang semakin menghunjam dalam.
Ayat pun meminta untuk mengenang kembali keberadaan umat muslimin yang lemah dan ketakutan. Umat yang marjinal, tersingkirkan dari peradaban, miskin, kenyang caci maki dan hinaan.
Tapi, di Idul Fitri pertama menjadi saksi perlindungan Allah, penguatan Nya, kemenangan, kebesaran hingga rizki yang halal lagi baik.
Semua ini agar muslimin kembali bertahmid dan larut dalam pujian hanya untuk Nya.
Qotadah As Sadusi rahimahullah salah seorang ulama besar Tafsir menjelaskan ayat ini:
“Negeri Arab ini, merupakan masyarakat paling hina, paling sengsara kehidupannya, paling lapar perutnya, paling telanjang karena tidak punya pakaian, paling sesat berdiam diri di depan batu, ada di antara dua singa Persia dan Romawi
Demi Allah, di negeri mereka tidak ada yang layak untuk diminati, siapa yang hidup dalam keadaan sengsara, siapa yang mati masuk neraka, mereka dimakan tapi tidak bisa makan.
Demi Allah, kami tidak mengetahui ada sebuah suku di muka bumi ini yang lebih buruk keadaannya dari mereka.
Hingga Allah menghadirkan Islam yang diteguhkan di negeri ini, diluaskan rizkinya, djadikan para pemimpin bagi manusia.
Dengan Islam, Allah menganugerahi seperti yang kalian ketahui. Maka bersyukurlah kepada Allah atas ni’mat Nya.
Sesungguhnya Robb kalian pemberi ni’mat dan suka dengan orang pandai bersyukur. Dan orang yang bersyukur selalu mendapatkan tambahan dari Allah ta’ala.”
Allahu Akbar…Allahu Akbar….Walillahil Hamd….
Ya, seakan Qotadah yang hidup 13 abad lalu bicara tentang kita hari ini. Bacalah paragraf terakhirnya, agar harapan itu terus terpelihara. Agar kita tidak selalu terpuruk dalam keputusasaan.
Yang paling penting, kita harus tahu bahwa hanya dengan Islam lah keadaan ini bisa berubah. Dari sengsara menjadi bahagia. Dari berkekurangan menjadi berkecukupan. Dari didzalimi menjadi pemimpin bumi.
Ya, hanya dengan Islam.
Kehinaan akan terus membersamai muslimin selama belum minat kembali ke Islam atau masih meletakkan sebelah kakinya dalam Islam dan meletakkan yang lainnya dalam kebimbangan.
Abdullah bin Umar pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
“Jika kalian bertransaksi Al ‘Inah, mengikuti ekor sapi, ridho dengan pertanian dan meninggalkan jihad, Allah meliputi kalian dengan kehinaan. Dia tidak mencabutnya, hingga kalian kembali ke agama kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dishahihkan oleh Al Albani)
Mari kita dalami hadits ini. Karena hadits ini memberikan peringatan serius akan sebuah umat yang ditimpa kehinaan, kejatuhan, selalu menjadi korban. Rasulullah memberikan panduan lengkap; dari penyebab hingga solusi.
Hadits ini sesungguhnya mengingatkan kepada kita akan gravitasi dunia yang membuat kita lupa akhirat.
Asyik mengurusi dunia dan melupakan bahkan memusuhi syariat jihad.
Hadits ini sebenarnya memberikan isyarat tentang tiga sumber besar harta; perdagangan, peternakan dan pertanian. Karenanya para ulama mengatakan bahwa hadits ini tidak melarang perdagangan, peternakan dan pertanian.
Tetapi larangan meninggalkan jihad dan syariat Islam yang disebabkan oleh kesibukan dan keasyikan mengurusi dunia yang sumber terbesarnya adalah ketiga hal tersebut.
Mari kita masuki lebih dalam hadits ini.
Jual beli Al ‘Inah adalah jenis transaksi yang haram. Yang menyebabkan jual beli Al ‘Inah diharamkan adalah karena sesungguhnya ini bukan transaksi jual beli. Tetapi ini adalah riba murni. Agar terlihat halal, maka riba dikemas dengan jual beli.
Padahal riba tetaplah riba. Dosa besar yang diremehkan oleh zaman ini. Dosa yang lebih besar dari zina. Kita menganggap hina perbuatan zina, tetapi menganggap biasa riba. Innalillahi wainna ilaihi roji’un.
Transaksi Al ‘Inah menunjukkan bahwa hadir sebuah zaman kehinaan yang berhadapan dengan dosa besar riba dan muslimin hanya membelokkan ke kanan dan kiri untuk bisa menghalalkan riba tersebut.
Sangat sulit melepaskan dari riba, sangat tidak rela meninggalkan dosa riba.
Hal ini menunjukkan iman yang tipis yang lebih percaya janji dusta Iblis akan harta, dari pada janji Allah yang akan memberikan harta berikut ampunan dan ridho Nya.
Mengikuti ekor sapi dan ridho dengan pertanian, para ulama menjelasakan bahwa keduanya bermakna pertanian. Walaupun ada sentuhan yang sedikit berbeda.
Karena mengikuti ekor sapi memberikan isyarat tentang dunia peternakan yang tidak terlepas dari dunia pertanian, sementara yang satunya adalah dunia pertanian yang berhubungan dengan tanam menanam.
Adapun jihad, adalah merupakan syariat tertinggi dalam Islam. Mungkin saja para pedagang, peternak dan petani masih menjalankan syariat sholat atau zakat. Tetapi sudah antipati terhadap jihad dan bahkan untuk sekadar membahasnya.
Sekaligus, hadits ini juga menjadi peringatan bahwa ketiga dunia tersebut menyenangkan dan bisa membuat lalai, hingga berani meninggalkan jihad fi sabilillah.
Hasil semua ini adalah kehinaan yang merata. Muslimin tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tak menjadi subyek dan selalu menjadi korban, menjadi makanan di atas meja hidangan yang disantap dari semua arah, muslimin dalam jumlah yang banyak tetapi dipimpin oleh orang kafir.
Silakan diukur dengan kita hari ini….
Allahu Akbar…Walillahil hamd…
Solusinya satu. Ya, hanya satu!
Hingga kalian kembali kepada agama kalian. Satu kalimat. Jelas. Gamblang. Tidak basa basi.
Demi Allah, tak akan pernah pergi kehinaan ini sampai kita ridho dengan agama ini dan tidak mempermainkannya. Tidak mempedayai syariat ini untuk sekadar kepentingan sesaat pribadi dan golongan. Menghentikan main-main kita dengan syariat ini, menghentikan aktifitas menjadikannya sekadar label untuk hal yang haram.
Demi Allah, para sahabat Nabi tidak bangkit menjadi pemimpin bumi dengan cara Yahudi yang menguasai pasar dan produksi Madinah. Tidak menggunakan cara Quraisy yang merupakan suku asli Nabi dan sebagian para sahabat. Tidak menggunakan cara Persia dan Romawi yang merajai bumi saat itu.
Tapi, menggunakan syariat Islam ini untuk menjawab seluruh tantangan zaman itu.
Para sahabat Nabi tidak pernah berkata tidak mungkin untuk tegaknya syariat di tengah dominasi kejahiliyahan. Karenanya mereka tidak melegalkan jalur dosa untuk mencapai tujuan ketaatan.
Allahu Akbar…Walillahil hamd…
Karenanya, ubahlah cara bicara kita.
Jangan katakan, ini zaman yang berbeda. Karena apa bedanya zaman kita jika Robb, Nabi, kiblat dan kitab suci kita masih sama. Bumi yang kita pijak dan langit yang kita junjung hingga matahari yang terbit masih dalam lingkar hukum sebab akibat.
Ubahlah cara kita bicara. Jangan katakan tidak mungkin. Katakan bahwa kita sedang dan akan mencobanya, hanya perlu waktu dan proses untuk suatu hari disampaikan Allah pada titik sempurnanya.
Ubahlah cara bicara kita.
Jangan katakan bahwa Al Quran tidak mungkin mencakup ilmu detail kita.
Tapi tanyakan kepada Al Quran di ayat manakan bisa digali ilmu kita ini.
Jangan melangkah sebelum memahami halal haram di seluruh aktiftias kita. Karena semestinya ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Jangan katakan bisa belajar sambil jalan. Karena kita akan memakan harta haram baik rela ataupun terpaksa.
Allahu Akbar…Walillahil hamd…
Mari berhenti sejenak untuk selalu bertanya: bagaimana syariat ini membahasnya.
Untuk semua hal di dalam kehidupan kita.
Yakinlah dan mulailah. Mendekat ke syariat.
Tak ada yang langsung sempurna. Proses dengan progres hingga mencapai sempurna.
Mari kembali ke syariat…
Agar kita bisa merayakan Idul Fitri dengan bahagia setelah selesai berpuasa yang berbalut dengan kemenangan selepas puasa panjang umat ini dari kebesarannya.
Semoga kita bisa merayakan Idul Fitri seutuhnya seperti yang disampaikan Nabi: hari makan, minum, keluarga dan dzikir.
Karena makan minum kita belum lagi nyaman, jika mengingat saudara muslim kita tertindas di belahan bumi lain. Karena masih banyak yang keluarganya belum menjadi tempat istirahatnya jiwa ini.
Semoga suatu hari kita bisa merayakan Idul Fitri seperti Idul Fitri pertama muslimin.
Dan akhirnya kita berdoa semoga Allah muliakan kita dengan diterimanya seluruh amal kita.
Semoga Allah berikan penghargaan untuk mata kita yang bisa melihat kebesaran Islam yang kembali.
Semoga generasi yang menancapkan izzah Islam dan muslimin itu adalah generasi kita.
Wallahu A’lam