Tidak seorang pendidik pun yang Allah utus disemua generasi kecuali mereka telah berusaha mengajari kaumnya kebenaran, dan mereka adalah orang yang paling tau bahwa kelurga juga termasuk yang harus mereka didik dan bahkan menjadi barisan pertama untuk di dakwahi.
Allah menceritakan salah seorang pendidik yang ia utus di masa lalu, yang kesabarangnya dalam menyeru, menyampaikan, memperingati mencapai 950 tahun. Siang dan malam tidak bosan mengajak kaumnya kepada keselamatan namun apalah daya kuasa milik Allah.
Bahkan ia tidak bisa menyelamatkan anaknya setelah ratusan tahun mendidiknya, Allah ceritakan kisahnya dalam surat Huud.
Imam As-Sa’di mengatakan :
“takala Nuuh sudah diatas bahtera dia meminta anaknya yang menjauh untuk mendekat dan naik bersamanya agar tidak di timpa apa yang menimpa orang kafir, tapi ia mendustakan ayahnya dan menganggap gunung bisa menyelamatkanya dari air, tapi ada yang mampu menyelamatkanya tidak air ataupun yang lainnya walau secara logika hal mampu memberikan pertolongan”
Lihatlah bagaimana kesungguhan Nuuh dalam mendidik keluarganya terutama anaknya, bahkan ketika ombak menjadi pemisah keduanya dan anaknya tengelam. Nuuh tetap berharap belas kasih Allah dan menganggap anaknya termasuk keluargannya dan meminta janji Allah takala di perintahkan membawa semua hewan berpasagan beserta keluargannya agar anaknya diselamatkan.
Namun Allah menegurnya kerena ketidaktahuannya bahwa yang menjadi pemisa antara mereka adalah kesolehan (ya Allah karuniakanlah kami kesolehan dan kesolehan keluarga kami).
Setelah Nuuh memahami alasan Allah ia kemudian mengajarkan manusia yang datang setelahnya untuk mendidik keluarga. istri, anak dan kaumnya dan tidak menuntut ini dan itu dari usaha mendidik mereka karana hidayah itu milik Allah. Jika Allah menghendaki itu baik maka walau penduduk langit dan bumi mengatakan tidak, keputusan Allah tetap akan seperti itu.
Karena kita hanya di minta untuk mendidik dan menterbiyah mereka bukan menentukan jalan hidup. Hati mahluk itu milik Allah maka kembalikanlah hati itu kepada pemiliknya dia mampu mebalikanya kepada kebaikan dan keburukan sesuai yang dia kehendaki.
Ibnu Qoyyim mengatakan “kenapa kita selalu meminta hidayah itu walau saat ini kita sudah berada di rel yang benar, karena tidak ada jaminan kita akan mati dalam keadaan itu”.
Akhirnya kita fahami tidak layak kita mencela, mengkeritik, menghakimi keluarga seseorang dan mengatakan “kok anak ustadzh nakal?”
“ko istri ustadzh begitu yah akhlaknya?”
siapa yang tau? boleh jadi ayah atau suminya sudah menangis darah menndoakan mereka hidayah dan kebaikan, sudah hancur bibir mereka menasehati kebenaran, sudah habis tenaga dan fikiran mereka curahkan.
Maka Allah meletakan orang pertama yang harus di jaga dari keburukan akhirat adalah diri kita sendiri setelah itu keluarga menepati posisi kedua. Dalam surat At-Tahrim Allah mengunakan kata wiqoyah. Sementara wiqoyah sendiri bisa bermakna penghalang atau pembatas.
Ar-Rogib Al-Asfahani mengatakan Takwa itu membuat sebuah penghalang antara diri kita dengan sesuatu yang di takuti(Neraka). Maka tidak ada cara mendidik diri kita dan keluarga kecuali dengan mengajari mereka takwa.
Dan doa takwalah yang Allah ajarkan untuk ummat ini , “dan jadikalah kami pemimpin orang yang bertakwa”