Bukan Haji Biasa
Ketika saya belajar salah satu kitab tentang media tulisan Syaikh A’tif Ibrahim Al Mutawali Rifa’i, agak sedikit bingung ketika Ibadah Haji menjadi perantara media, kok bisa? Apa urusannya ibadah Haji dengan media, karena kitakan tahu selama ini ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima, ritual Haji, foto-foto di Kabah dan suasana, belanja, oleh-oleh haji, lalu orang-orang yang pulang dari Haji dipanggil Pak Haji dan Bu Haji.
Lalu kebingungan ini terjawab setelah sebelumnya saya membaca buku Sirah Nabawiyyah dari beberapa penulis tentang ibadah Haji pada tahun 4 kenabian, saya langsung terkejut dengan momen itu, sungguh menegangkan.
Ibadah Haji pada tahun 4 kenabian merupakan momen besar bagi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dalam menyebarkan Islam. Momen ini juga menjadi ancaman bagi exsistensi agama pagan yang dianut sebagian besar kaum Quraiys di Mekah.
Para petinggi Quraiys pun memulai strateginya untuk mencegah Islam menyebar ke seantero negeri. Berikut saya cuplik momen menegangkan ini dari buku Siroh Nabawiyah karya Syaikh Syaifurrahman Al Mubarakfuri;
“Selama masa-masa itu orang-orang Quraiys disibukkan oleh urusan lain, yaitu semakin dekatnya jarak antara dawah terang-terangan dengan musim haji. Mereka menyadari bahwa sebagai utusan dari seluruh Jazirah Arab akan mendatangi mereka. Oleh karena itu mereka berpendapat untuk mengeluarkan satu pernyataan resmi yang disampaikan kepada bangsa Arab tentang status Muhammad, agar dakwah beliau tidak meninggalkan pengaruh di dalam jiwa mereka. Lalu mereka berkumpul di tempat Al-Walid bin Mughirah, membahas masalah ini.
Al Walid berkata, “Ambil satu kesimpulan tentang masalah ini dan jangan sampai kalian berbeda pendapat, sehingga di antara kalian mendustakan sebagian yang lain, sebagian menyanggah sebagian yang lain.”
“Pendapatmu sendiri bagaimana?” tanya mereka
“Sampaikan dulu pendapat kalian, biar aku mendengarnya,” Kata Al Walid
“Kita katakan saja bahwa dia adalah seorang DUKUN.”
“Tidak, demi Allah, dia bukanlah seorang DUKUN,” jawab Al Walid, “Kita tahu DUKUN seperti apa, dia sama sekali tidak menggunakan mantra seperti DUKUN.”
“Kita katakan saja dia ORANG GILA,” kata mereka.
“Dia bukanlah ORANG GILA,” kata Al Walid “Kita sudah mengetahui ORANG GILA seperti apa. Dia tidak menangis tersedu-sedu, dia tidak bertindak seenaknya, dia tidak berbisik-bisik sendiri layaknya ORANG GILA.”
“Kita katakan saja dia seorang PENYAIR,” kata mereka
“Dia bukan seorang PENYAIR,” kata Al Walid, “Kita sudah mengetahui seluruh bentuk syair, yang Rajaz, Hazaj, Qaridh, maupun Mabsuth. Apa yang Dia sampaikan bukanlah termasuk syair”
“Kita katakan saja, dia seorang PENYIHIR” kata mereka
“Dia bukanlah seorang PENYIHIR,” kata Al Walid, “kita sudah melihat para penyihir dan mengetahui sihir mereka, Dia tidak berkomat-kamit dan tidak membuat buhul tali layaknya penyihir.
“Kalau begitu apa yang harus kita katakan?” mereka bertanya.
Al Walid berkata “beri aku waktu sejenak untuk memikirkan hal ini,” lalu Al Walid diam dan berfikir dengan keras, terus berfikir, sebagian mengatakan sampai keluar keringat dengan wajah yang masam ketika Al Wallid berfikir dengan keras hingga akhirnya dia menyampaikan pendapatnya.
Al Walid menjawab “Demi Allah, perkataannya benar-benar manis, pangkalnya benar-benar cerdik, dan cabangnya benar-benar matang. Tidaklah kalian mengucapkan sedikit saja dari perkataan tersebut melainkan dia mengetahui bahwa itu bukanlah hal yang batil. Namun sebutan yang paling sesuai untuk dia, hendaklah kalian mengatakan sebagai PENYIHIR. Dia datang membawa sesuatu perkataan yang menyerupai SIHIR yang bisa memisahkan antara seseorang dengan bapaknya, seseorang dengan saudaranya, seseorang dengan istrinya, seeorang dengan kerabat dekatnya sehingga kalian terpecah belah.”
Kejadian ini diabadikan dalam Al Quran surat Al Muddattsir ayat 18-25;
Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang ditetapkannya) – maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? – kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? – kemudian dia memikirkan – sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, – kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri, – lalu dia berkata: “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu) – ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”.
Bisa dikatakan ini adalah salah satu rapat redaksi tertua yang terjadi 14 abad yang lalu, Framing terhadap Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam dengan tujuan menjelek-jelekan ajaran beliau, membangkitkan keragu-raguan, menyebarkan kebencian dan tidak membiarkan orang-orang untuk mendengarkan dan memahami ajaran beliau.
Lihat betapa pentingnya momen ibadah Haji dalam penyebaran agama Islam saat itu. Bagi Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam musim haji adalah waktu terbaik dalam menyebarkan Islam ke seantero negeri dan bagi musuh-musuh beliau adalah ancaman akan hilangnya bisnis, kekuasaan, dan kehormatan. Sehingga musuh-musuh Islam dengan sangat matang merencanakan untuk menggagalkan misi tersebut. Kita tahu hasil akhirnya usaha mereka gagal total, Islam semakin menyebar, semakin kokoh dan pernah menguasai sebagian besar permukaan bumi.
Sekarang saya membayangkan andai saja mereka disana melakukan pertemuan Akbar umat Islam internasional ditengah lemahnya umat dan fitnah-fitnah yang menyerang. Belajar dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang menjadikan momentum Ibadah Haji sebagai media menyebarkan Islam dan membangun kekuatan.
Maka akan menarik jika kita mengambil pelajaran dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk menjadikan musim Haji sebagai momen kebangkitan umat Islam. Momen ini digunakan untuk mensuarakan pentingnya persatuan umat, membuat kesepakatan agenda, dan bertekad menjalankan di negerinya masing-masing. Akan tambah menarik jika kegiatan ini dilaksanakan setiap musim haji dengan adanya agenda-agenda lainnya, hasilnya pasti menarik dan membuat gemas semua yang membenci Islam. Jadi bagaimana dengan ibadah Haji hari ini, pak Haji dan bu Haji?