Dari Hati
Hampir semua pasang mata di masjid saat itu memandang heran dengan apa yang baru saja terjadi. Terlihat seorang santri berjalan meninggalkan kakak angkatannya di salah satu pilar Masjid Madrasah Al-Fatih Situ Daun. Berlalu dengan mendekap mushaf di dadanya. Sementara santri-santri lain yang berada di masjid terus memandangi santri ini dengan penuh tanda tanya.
***
Setiap kali berkunjung ke Madrasah Al-Fatih Situ Daun (MAF Situ Daun), saya menyempatkan diri untuk menyapa santri-santri Kuttab Al-Fatih Depok(KAF Depok) yang sedang belajar di Madrasah Al-Fatih. Ada kebahagiaan tersendiri setiap kali melihat santri-santri yang kini telah tumbuh menjadi sosok yang berdeda. Terlihat wajah-wajah yang dahulu lucu itu berubah menjadi wajah yang teduh, tenang yang mengisyaratkan kedalaman ilmu, dan ketinggian adab. Tentu kalau bukan taufik dari Allah Ta’ala, bagaimana mungkin santri-santri itu tumbuh membahagiakan para pendidiknya.
Adzan Dzhuhur berkumandang, melangkahlah kaki ini ke masjid MAF Situ Daun. Di sela waktu berdzikir antara adzan dan iqomah. Saya berjumpa dengan salah satu alumni KAF Depok yang kini menjadi santri madrasah, kami menikmati pembicaraan singkat. Dalam waktu yang singkat itu saya menangkap makna yang begitu dalam menancap. Sebutlah dia bernama “Sam”.
Saya : “Sam, gimana kabarnya?”
Sam : “Alhamdulillah sehat Ustadz”
Pada pertemuan sebelumnya dengan Sam, saya pernah berpesan untuk ikut menjaga, mengawasi, dan membimbing adik-adik dari KAF Depok yang ada di madrasah. Salah satu santri laki-laki dari KAF Depok yang kini belajar di madrasah dikenal memiliki kebutuhan khusus. Tentu ada harapan dalam hati saya agar Sam bisa membimbing adik-adiknya dari KAF Depok. Tidak terkecuali santri yang berkebutuhan khusus ini.
Sam: “Kemarin ada yang menarik Ustadz”
Saya: “Gimana Sam?”
Kemudian Sam mulai bercerita. Ternyata beberapa hari yang lalu santri yang memiliki kebutuhan khusus ini datang menghampiri Sam yang sedang muroja’ah di salah satu pilar masjid. Santri ini datang dengan membawa mushaf dan dia mengatakan bahwa dia mau setoran. Lalu Sam mempersilahkannya untuk setoran. Santri ini menyetorkan surat An-Naba’ dengan baik. Ketika selesai setoran santri ini pergi dengan mencium tangan Sam layaknya adab antara santri dan gurunya.
Sam : “Temen-temen yang lain pada bingung Ustadz. Mereka tanya, Kenapa ana bisa deket sama santri itu?”
Saya : “Kamu jawabnya gimana Sam?”
Sam: “Ana jawab dengan satu kalimat Ustadz. Ana dekatin dia dengan hati, bukan dengan fisik.”
Saya: “Maa syaa Allah, Tabarakallah
Santri yang ada dalam cerita Sam itu dikenal tidak mempunyai teman dekat. Dengan kekhususannya, terkadang santri lain bingung bagaimana harus memperlakukan dan mendekatinya. Tapi tidak dengan Sam, dengan caranya ia mampu membuat santri itu nyaman untuk menyetorkan hafalannya.
Sam mengingatkan kepada kita untuk berbuat dari hati, bergerak dengan hati, mendekati dengan hati, dan bukan sekedar kedekatan fisik. Interaksi ini butuh kejernihan hati sehingga yang dihasilkan adalah kebaikan demi kebaikan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah, dan sesungguhnya, di dalam badan ini terdapat sekerat daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ingatlah, ia adalah hati.
(HR. Muttafaq ‘Alaih)
Maka saya berfikir, terus bagaimana kita sebagai guru dan orangtua bisakah kita melakukan hal itu? Karena kaidah ini yang biasanya kita lupa. Tidak hadirnya ketulusan hati dalam interaksi membersamai anak-anak akan menghasilkan hubungan yang kering dan jauh dari saling memahami. Karena apa yang datangnya dari hati akan sampai ke hati. wallahu’alam