Pernahkah Anda mendengar kisah seorang anak berdialog kepada ayahnya dengan penuh rasa ketaatan kepada Allah?
Kisahnya dijelaskan dalam ayat berikut:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْۤ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْۤ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰى ۗ قَالَ يٰۤاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْۤ اِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ(102)
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu! Dia (Ismail) menjawab, Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”(QS. As-Saffat: 102)
Kita mungkin sudah akrab dan sering mendengar ayat di atas dibacakan dalam beberapa kajian dan kesempatan. Sebuah ayat yang mengisyaratkan dialog luar biasa antara ayah dan anaknya. Suatu interaksi antara dua insan yang beriman dan taat kepada Allah sehingga Allah mengabadikan mereka sebagai teladan bagi umat-umat setelahnya.
Bila kita memperhatikan dialog antara sosok ayah dan anak di atas mempunyai spirit dan ruh iman yang kental. Dimana sang ayah yang mendapatkan perintah dari Allah dan berkomunikasi kepada anaknya mengenai mimpi tersebut. Kemudian sang anak menyikapi dan memberi tanggapan. Percakapan yang diabadikan dalam Al Quran itu mencerminkan dialog iman yang mengagumkan oleh seorang ayah dengan anaknya yang saat itu berada dalam usia gulam yaitu tujuh tahun ke atas.
Hingga detik ini, sosok generasi layaknya Ismail ‘alaihi salam masih membuat hati kita berdecak kagum dan takjub. Bagaimana tidak? Ada seorang anak yang taat pada orangtuanya bahkan mampu mematuhi sesuatu yang sulit dipahami oleh akal. Hanya melalui isyarat mimpi sang ayah, sang anak rupawan ini rela dijadikan qurban sembelihan. Anakini mampu mengenal Allah dan menaati perintah-Nya. Ia mengetahui siapa ayahnya serta peran dan tugasnya sebagai Nabi Allah. Kemudian ia menjadi percaya, berserah diri, qona’ah dan bersabar atas takdir Allah. Potret seorang anak yang sulit ditemukan pada zaman canggihini.
Pernahkah kita bertanya, bagaimana cara mencetak anak seperti Ismail? Bukankah umat manusia saat ini merasa pendidikan modern telah mencapai titik yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya? Apa kita mulai merasa kemunduran akhlak dan moral dalam pendidikan? Pendidikan modern hendak mencetak generasi yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga langkah dan kurikulumnya pun disusun dan dirancang sedemikian rupa. Namun pendidikan ini tidak hanya berorientasi pada iptek tetapi juga imtaq. Maka pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan agar generasi ini memiliki keunggulan dalam hal iman dan ketakwaan? Pendidikan dan kurikulum seperti apa yang dibutuhkan untuk melahirkan generasi beriman dan bertaqwa?
Figur Ismail kecil mencerminkan generasi dengan keistimewaan pendidikan iman seperti iman kepada Allah, iman kepada Nabi, iman kepada qadha dan qadar, sifat sabar, qona’ah dan sebagainya. Bukankah hal ini termasuk dalam cabang-cabang iman? Kurikulum yang seharusnya ditanamkan dan diajarkan agar muncul generasi dengan iman yang kokoh dan bertakwa. Itulah sebagian kecil inspirasi pendidikan iman yang terpancar melalui dialog singkat Nabi Ibrahim dan anaknya. Sudah seharusnya perhatian dan upaya kita untuk meneladani Nabi Ibrahim dan anaknya harus dilakukan dengan baik dan konsisten. Jangan jadikan sepenggal dialog antara ayah dan anak ini hanya ‘ayat dan pelajaran sejarah’ yang dibaca dan dikenang. Tetapi jadikanlah sebagai figur dan potret generasi yang hendak dilahirkan dari bilik rumah keluarga-keluarga muslim.
Ya Allah, bimbinglah kami…
#duakurikulum_iman&alquran