Kurban Itu Tentang Cinta
Cinta tanpa pengorbanan bagaikan bangunan tanpa pondasi, sebagus apapun bangunanitu tentu pasti roboh. Begitupun dengan cinta. Cinta tanpa pengorbanan adalah kebohongan. Orang yang mencintai tapi tidak pernah berkorban untuk orang yang dicintainya, maka tentu cintanya perlu dipertanyakan. Pengorbanan orang yang sedang jatuh cinta tentu akan berbeda-beda. Semakin besar rasa cinta, akan semakin besar pula pengorbanannya. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah bahwa tingkatan cinta yang paling tinggi adalah yang mencintai keinginan orang yang dicintainya, karena keinginan yang dicintai terkadang berbeda dengan keinginan diri. Dan mendahulukan keinginan yang dicintai tanpa mempedulikan keinginan pribadi itulah puncak dari cinta.
Mari kita melihat dan membaca kembali kisah orang-orang yang mencinta, bagaimana mereka mengorbankan keinginannya hanya untuk memenuhi keinginan yang dicintainya. Nabiyullah Ibrahim alaihis salam, beliau dengan penuh keikhlasan mengorbankan perasaannya sendiri untuk menyembelih putra tercintanya yang sekian lama tidak pernah berjumpa hanya demi memenuhi keinginan Dzat yang beliau cintai. Dan lihatlah bagaimana jawaban sang putra, yang juga sedang jatuh cinta; “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Shofat: 102)
Kita juga membaca bagaimana ketegaran beliau ketika harus meninggalkan orang-orang yang dicintainya di tengah-tengah padang pasir yang gersang yang tidak ada kehidupan. Beliau laksanakan dengan penuh kecintaan. Dan lihatlah bagaimana ketegaran sang istri yang juga sedang mencinta, beliau berkata kepada suaminya; “Apakah Allah yang menyuruhmu untuk melakukan ini?” nabi Ibrahim pun menjawab dengan singkat: “iya”. Maka sang istri yang juga sedang jatuh cinta mengorbankan keinginannya untuk terus bersama dengan suaminya demi memenuhi keinginan Dzat yang dicintanya. Beliau berkata; “kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.”
Kurban itu tentang cinta, bukan hanya tentang penyembelihan hewan-hewan kurban. Karena jika hanya berbicara tentang penyembelihan, sesungguhnya Allah tidak menerima daging-daging dan darah-darah hewan sembelihan itu. Kurban itu tentang cinta, sehinggaseharusnya orang yang berkurban memberikan hewan yang paling baik untuk dipersembahkan. Tidak cacat, tidak kurus dan tidak memiliki kekurangan. Kurban itu tentang cinta, sehingga sepatutnya orang yang berkurban mengurbankan hewan yang paling dicintainya.
Pengorbanan, itulah puncak dari cinta. Maka lihatlah orang-orang yang beriman. Mereka benar-benar mengorbankan seluruh apa yang dimilikinya untuk Dzat yang dicintainya; keinginan, pikiran, harta, tenaga bahkan nyawa. Dan memang seperti itulah seharusnya orang yang mencinta; “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan bagi
perempuan yang mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36). “Tidak akan mendapatkan kebaikan sampai engkau menginfakkan sebagian dari apa yang engkau cintai. (QS. Ali Imran: 92). “Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. Al-Baghowi)