Kurban; Kesabaran Terbaik Seorang Ayah
Akhir-akhir ini, kita turut menyaksikan pemberitaan tentang kesabaran seorang Ayah yang kehilangan anak laki-lakinya ketika berenang di sungai yang indah di kawasan Eropa Tengah. Seorang anak laki-laki sulung, yang usianya tengah berada pada puncak harapan kedua orang tua. Tentu, itu adalah pukulan berat, utamanya bagi seorang Ayah. Bukankah Ayah biasanya menantikan anak laki-laki pada kelahiran pertama dalam rumah tangganya? Nampak kita saksikan pula, sang Ayah dengan kesabarannya, tetap berusaha mencari, menyusuri sungai, berjalan dengan sebuah keyakinan dan harapan.
Dari sini kita belajar akan hakikat kebersamaan diri kita dengan keluarga yang kita cinta di dunia adalah sementara. Tentu, cita-cita kita adalah terus berkumpul hingga ke surga. Karenanya, dalam sebuah keluarga diperlukan kesholihan seluruh anggota keluarga, apalagi seorang Ayah karena ia adalah nahkodanya. Nahkoda yang akan menghantar seluruh penumpangnya berlabuh di surga.
Seorang Ayah harus memiliki kekokohan jiwa sebelum menjadi teladan dan mengajak semua anggota keluarga dalam ketaatan. Bersabar dalam menjalankan perintah, meninggalkan larangan dan ridho dengan semua ketentuan-Nya.
Jauh sebelum hari ini, gambaran kesabaran terbaik seorang Ayah dan anak, sejatinya telah ada, telah Allah abadikan dalam Al Qur’an. Kisah seorang Ayah, bahkan Ayahnya para Nabi yang juga mendapatkan gelar Khalilullah, sang kekasih Allah karena kesabarannya. Tak akan pernah lekang oleh masa, kisah mereka dalam Surat Ash-Shaffat ayat 100-111.
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang sholeh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”
Benar, inilah sosok Ayahnya para Ayah dan puteranya, Nabi Ibrahim dan Ismail, yang begitu sabar dan bersegera menjalankan segala perintah Allah termasuk mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai. Do’a beliau mengawali kisah agung ini, surat As Saffat ayat 100, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” Hingga Allah mengabulkan. “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).” surat As Saffat ayat 101. Lantas, setelah penantian begitu lama hingga usia senja, justru Allah kembali menguji cinta beliau pada-Nya, Allah memerintahkan untuk menyembelih sang Putra. Sebuah ujian yang sungguh berat, namun dihadapi dengan kesabaran yang luar biasa. Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah dengan penuh kesabaran.
Pun demikian halnya dengan Ismail, sosok seorang putra yang bersabar dalam mengorbankan dirinya untuk disembelih sebagai bukti ketaatan pada perintah Allah. Betapa kita saksikan keberanian seorang anak laki-laki, diriwayatkan usianya saat itu sekitar 14 tahun. Sangat gentle, dan jiwa seperti itu langka kita dapati pada generasi hari ini. Mari kita simak, tutur katanya. “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (surat As Saffat ayat 102).
Istimewa, bagaimana generasi seperti Ismail ini ada? Seorang pemuda berjiwa ksatria, yang teguh berani, bersabar, ikhlas menerima perintah Allah dengan lapang dada. Sami’na wa atho’na. Tentu, jiwa mulia itu tidak akan hadir tiba-tiba, tanpa keteladanan seorang Ayah di baliknya.
Sang Ayah, Nabi Ibrohim telah menjadi teladan kesabaran bagi seluruh anggota keluarganya, istri dan putranya. Tentu kita masih ingat kesabaran sang istri, Siti Hajar ketika menerima perintah Allah kepada sang Suami, untuk meninggalkan dirinya dan Ismail kecil di tengah gurun pasir. Kesabaran yang berlandas pada keyakinan “Jika ini perintah Allah, maka Allah yang akan mengurusku”. Kesabaran seorang istri dan anak, kesabaran sempurna dalam sebuah keluarga yang diawali dari kesabaran kepala keluarga.
Dan lihatlah, balasan terbaik yang Allah berikan atas kesabaran mereka, Allah menggantikan Ismail dengan sembelihan yang besar. Ismail tetap hidup bersama orang tuanya. “Selamat sejahtera bagi Ibrahim, Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” Surat As Saffat: 109-110.
Ya, adakalanya balasan kesabaran itu disegerakan di dunia, namun ada pula yang ditangguhkan untuk diganti dengan nikmat yang lebih besar di surga. Sebagai janji Allah yang diberikan untuk orang-orang yang bersabar di jalan-Nya. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Surat Az Zumar ayat 10.
Kisah sang Ayah, Ibrahim dan keluarganya, menjadi pembelajaran pula untuk kita agar terus menguatkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan ketaatan. Kesabaran menjadi tonggak untuk tetap bertahan. Oleh karenanya, benih-benih kesabaran ini harus ditanamkan, mulai dari keluarga kita. Karena, melalui keluarga pula, Allah akan menguji kita sebagai bentuk pembuktian cinta kepada-Nya. Jangan sampai kecintaan kita pada mereka, melebihi cinta pada Allah dan Rasul-Nya.
“Katakanlah, ‘Jika Bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. “ Surat At Taubah ayat 24.
Dan sungguh kesabaran yang kita berikan saat ini tidak ada apa-apanya, tak akan pernah setara jika dibandingkan dengan pengorbanan para Nabi-Nya. Kesabaran luar biasa sebagai wujud pendekatan kepada Rabbnya. Tak mengharap apa-apa, selain cinta dan ridha-Nya.
Belajar dari Nabi Ibrahim, Ayahnya para Nabi, kita sebagai generasi yang bercita melahirkan generasi penerus Nabi harus memiliki ketegaran hati dan kekokohan jiwa yang tinggi. Mempersembahkan ketaatan terbaik, dilandasi kesabaran terbaik. Terus bersabar menapaki jalan terjal ini, terus menguatkan kesabaran, terus bersemangat dalam mendidik tunas- tunas peradaban, meski ujungnya tak nampak dalam pandangan. Yakinlah akan nikmat kekal di ujung kesabaran, yang hanya bisa dilihat dengan cahaya iman. Cahaya keyakinan.
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron: 200)