Mimpi Nabi Yusuf
Suatu ketika Nabi Yusuf alayhi salam berkata kepada Nabi Ya’qub, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS 12:4)
Allah subhanahu wa ta’ala memberi pemuda yang suci ini sebuah anugerah yang besar. Nabi Ya’qub melihat pertanda ini sejak putranya masih kecil. Kelak dia akan menjadi pembesar yang mulia, dan keluarganya akan berkumpul hormat padanya. Namun saat ini, Ya’qub alayhi salam mengetahui bahwa persaudaraan di antara ke-12 putra tidaklah harmonis. Ini diungkap oleh Al-Qur’an dalam ayat-Nya,
“(Yaitu) Ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.” (QS 12:8)
Yusuf dan Bunyamin adalah saudara satu ibu, berbeda dengan 10 saudaranya yang lain. Rupa-rupanya terselip perasaan iri di dalam hati, yang kemudian menjerumuskan mereka dalam sebuah pesekongkolan. “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS 12:9)
Hal ini sudah diperkirakan oleh ayah mereka, yang mengenal dengan baik watak putra-putranya. Maka dari itulah jauh hari sebelum tragedi persekongkolan itu terjadi, saat si kecil Yusuf mengisahkan mimpinya, sang ayah sudah berpesan, “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Siap Menerima Kabar Baik
Terkadang kita beranggapan, semua orang lebih suka mendengar kabar baik daripada kabar buruk. Ternyata tidak semuanya siap, dan yang penting bukanlah suka atau tidak suka, melainkan siap atau tidak siap. Kesiapan itu bentuknya adalah kesabaran dan ketaqwaan, sedangkan ketidaksabaran dan maksiat adalah bukti ketidaksiapan.
Bukankah kita melihat orang yang kaget menerima kabar bahwa dia memenangkan hadiah puluhan juta, atau mendapatkan warisan yang menjadikannya mendadak kaya, kemudian berfoya-foya dan berlebih-lebihan (boros). Allah memperingatkan kita dalam maksiat ini, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS 17:27).
Bukankah kita telah mendengar kisah si botak, si buta, dan si kusta yang disembuhkan Allah subhanahu wa ta’ala dari penyakit yang dideritanya dan diberikan modal berupa hewan ternak. Setelah mereka menjadi orang kaya, diujilah ketiganya dengan malaikat yang menyerupai kondisi mereka dulu waktu sakit, yang datang dan meminta-minta. Ternyata mereka ingkar, kecuali si buta yang bersyukur dan bersedekah.
Kabar baik tidak selalu membuat penerimanya menjadi baik, namun juga tidak otomatis membuatnya menjadi buruk, hal itu sangat tergantung kepada jiwa penerimanya. Demikian pula kabar buruk tidak serta merta akan membawa dampak buruk, meski juga tidak selalu memberi dampak baik, lagi-lagi itu kembali kepada jiwa kita masing-masing: bagaimana menyikapi dengan benar.
Maka agama ini menuntun kita untuk bersikap di tengah-tengah: SYUKUR & SABAR. Bila mendapat kebaikan kita bersyukur, dan bila mendapat keburukan kita bersabar.
Bagaimana Menerapkannya Sehari-hari?
Dalam keluarga seringkali kita mendapat kabar gembira. Kala anak mulai pandai mengeja hijaiyah, sementara usianya masih batita, tahanlah dulu kegembiraan. Janganlah kita buka tabirnya pada semesta, semisal dengan “Alhamdulillah bu, si kecil sudah bisa mengaji, padahal baru 2 tahun…”
Untuk apa menceritakannya kepada tetangga? Yang malah bisa memancing rasa iri saudara, bila juga memiliki anak namun belum sepandai anak kita. Ingatlah, itu tidak akan menambahkan kemuliaan kita.
Saat dia beranjak mengkhatamkan Qur’an di usia yang sangat belia, pendamlah dulu perasaan bangga. Hingga dia berhasil menyelesaikan hafalan Qur’annya, janganlah tenggelam dalam euforia, semisal mengumumkannya di media sosial, atau mengikutsertakannya dalam lomba-lomba yang menjadikannya mengira untuk piala-lah dia menghafal kitab suci, yang membuatnya menyangka bahwa kemenangannya adalah bukti dirinya telah berjalan lurus di jalan Rabb-nya.
Bukan Tujuan Pendidikan Kita
Tujuan kita mendidik anak bukanlah supaya menjadi nomor satu karena telah melampaui prestasi anak lain seusianya, bukan. Bukan pula mencari pengakuan dari manusia. Manisnya buah-buah yang dapat kita petik semenjak dini usianya belum mencapai ujung pendidikan kita. Perjuangannya masih melempang panjang di masa depannya. Prestasi sejati adalah ketaatan kepada Ilahi, yang kerap kali tiada berbanding lurus dengan pujian-pujaan manusia. Adalah tanggung jawab orang tua untuk menjaga mereka agar tetap jernih, tidak terkotori oleh penyakit riya’, tidak melenceng karena mengejar dunia.
Bukankah kita senantiasa ingin meneladani kesederhanaan Uwais al Qarni, yang tiada dikenal di bumi namun terkenal di langit?
Inilah ikhlas.
Penyejuk jiwa itu adalah ketika anak-anak kita istiqomah menegakkan shalat meski dibasuh air dingin di tengah malam, tanpa kehadiran mata yang menyaksikan, tak ada lisan yang menceritakan. Penentram hati itu adalah ketika mereka siap membela kehormatan agama Allah meski nyawa menjadi taruhannya. Penawar jerih payah itu adalah ketika mereka selalu melambungkan selaksa doa saat jiwa kita telah berpisah dari raga.
Inilah ikhlas.
Maka, kini simpanlah pekik gembira dan jadikanlah sebagai bait-bait doa di malam hari saat Dzat Sang Penggenggam Jiwa turun ke langit dunia. Gantilah euforiamu dengan tekad yang mengiringi tiap detik episode kehidupan anak. Pasanglah hijab-hijab untuk mereka dari mata serta hati yang mungkin berbenih dengki. Bersabarlah, agar segenap ikhtiarmu berbuah surga.
Ya Allah Bimbing Kami
#2kurikulum
#imansebelumquran
#adabsebelumilmu